Selasa, Juli 01, 2008

Mengenang Ibu

“Kasih ibu…, kepada beta…, tak terhingga sepanjang masa….
Slalu memberi.., tak harap kembali…, bagai sang surya menyinari dunia…”

Dulu , ketika aku masih duduk di bangku kelas I sekolah dasar, Ibu guru ku selalu mengajarkan lagu Sang Surya Menyinari Dunia. Hampir setiap hari lagu itu selalu dinyanyikan bersama-sama anak-anak satu kelasku, sebelum kami semua pulang meninggalkan bangku kelas, untuk kemudian kami pulang menuju rumahnya masing-masing. Kini 26 tahun sudah masa-masa itu aku tinggalkan. Seiring dengan berjalannya sang roda waktu dan bertambahnya usiaku. Lagu itu masih dapat kuhafal dengan jelas dan tak terlupakan satu nada pun. Lagu ini mengingatkanku pada sesosok wanita mulia yang baik hati dan lembut hati, penuh pengertian dan sabar. Sangat memanjakan aku disaat aku masih kecil dulu. Wanita itu adalah Ibuku.

Mengenang sosok Ibu, seolah-olah tidak akan pernah ada habisnya. Bagai sebuah mata air yang sejuk dan menyejukkan. Airnya jernih dan berlimpah, mengalir deras menyusuri kali-kali dan selokan, hingga akhirnya tertampung dalam bejana lautan nan luas. Airnya tak kunjung mengering meskipun kemarau nan panjang menerpa belantara kehidupan ini. Maka tidaklah keliru jika sebuah syair lagu sang surya yang menyinari isi dunia dijadikan sebagai perumpamaan kasih sayang seorang Ibu terhadap anak-anaknya. Sang surya dengan sinarnya menerangi isi bumi, walaupun sejatinya tak pernah sedikitpun bumi dan isinya balik menyinari sang surya.

Demikian juga dengan kasih sayang Ibu. Kasih sayang Ibu yang murni tanpa mengharap balas jasa dari anak-anaknya, terus tercurah sepanjang masa, sepanjang perjalanan hidup anak-anaknya. Dari semenjak ia dilahirkan dengan bertaruh nyawa Ibunda, hingga ia meninggal dunia. Kasih sayang Ibu senantiasa ada untuk anak-anaknya. Walaupun terkadang dan tidak jarang perlakuan dari anak-anak yang dicintainya bertolak belakang dengan apa yang dicurahkannya. Ibarat pepatah; Air susu dibalas dengan air tuba.

Bicara soal kasih sayang seorang Ibu, identik dengan cinta sejati. Jadi teringat ketika wkaktu dulu aku aktif di IRM (Ikatan Remaja Muhammadiyah). Aku pernah mendengar sebuah Taushiah dari seorang senior ku, dalam suatu acara pengkaderan Taruna Melati;

"Didunia ini tidak ada cinta sejati. kecuali 4 hal yang bisa disebut sebagai cinta nan sejati;
Cinta Alloh SWT kepada hamba-hambanya,
CInta Rasululloh kepada ummatnya,
Cinta seorang Ibu kepada anak-anaknya, dan
Cinta seorang suami terhadap Istrinya.
Selain dari itu adalah bukan cinta sejati. Melainkan Syahwat".


Aku tidak tau persis bersumber dari manakah Taushiah tersebut. Namun logika dan idealismeku masih bisa menerima hal itu sebagai suatu kebenaran.

Selama hayatnya, Ibuku selalu rajin dan disiplin. Pekerja keras, jujur dan tekun beribadah. Dalam mendidik anak-anaknya, beliau selalu menekankan pada kedisiplinan dan kejujuran, walaupun terkesan keras. Tidak jarang beliau memukul ku jika aku tidak patuh pada perintah dan nasihat-nasihat beliau. Namun Ibuku juga orangnya lembut dan penyayang. Dulu, tak ada satupun permintaanku yang tidak pernah di penuhi. Walaupun harus mengorbankan kepentingannya sendiri.

Teringat saat dulu, ketika aku lulus SD, Ibu sangat bangga sekali terhadapku. Karena pada waktu itu Nilai Ebtanas Murniku (NEM) paling tinggi di Rayon SD tempatku belajar. Nilai rata-rata NEM ku mendapat angak 7. Terutama Nilai Mata Pelajaran Matematika, mendapat angka 8. Tak henti-hentinya Ibuku bercerita kepada orang-orang tentang prestasiku di sekolahan. Apalagi ketika aku di terima di SMP N 01 Margasari, SMP Vaforit di kampungku. Semenjak diterimanya aku di SMP Negeri I, akulah yang selalu di utamakan oleh Ibu. Ketimbang pekerjaan lainnya sperti, mengisi bak kamar mandi, membersihkan rumah, menyapu halaman, mencuci pakaian dan seabreg pekerjaan rumah tangga yang lainnya.

Aku masih ingat sekali, dulu ketika hari pertama aku masuk SMP dan wajib mengikuti penataran P4 pola 45 Jam. Setiap pagi aku harus datang pagi untuk mengikuti upacara rutin, Apel Pagi. Pada waktu itu keluarga kami sedang dalam kesulitan ekonomi yang teramat sangat. Ba’da isya, sehabis sholat witir, Ibu pergi ke rumah Pa De’ buat pinjam uang dan satu kaleng beras. Ibu meminjam uang ke Pa De’ seperlunya saja, Rp. 300,-. Uang itu buat sangu aku berangkat ke sekolah keesokan harinya. Dua ratus rupiah buat naik dokar –kereta kuda- pulang pergi dari kampungku ke Margasari dan sebaliknya, yang seratus rupahnya lagi buat dibelikan gorengan buat lauk dan sekedar minum. Sementara untuk makan siang, Ibu membuatkan aku lontong dari beras yang di pinjam dari Pa De’ tadi. Begitu selama seminggu, selama masa-masa penataran P4 pola 45 jam yang aku ikuti di SMP 01 Margasari.

Ibuku orangnya sangat pekerja keras. Pantang menyerah dan tidak pernah mengeluh. Ketika beliau sedang mengandung adikku 8 bulan, pernah Ibu bekerja sendirian tanpa dibantu oleh seorangpun. Menggendong gabah seberat 75 Kg, dibawa ke penggilingan padi yang jaraknya kurang lebih 1,5 KM dari rumah kami, untuk di jemur kemudian selanjutnya digiling menjadi beras. Pekerjaan itu dilakoni Ibu selama 1 bulan, selama musim panas berlangsung. Sampai kemudian Adik saya perempuan lahir. Adikku lahir ketika aku berusia 10 tahun. Selama masa-masa itu Ibu tetap mengutamakan kepentingan-kepentinganku, walaupun tanpa aku minta sekalipun. Ibu bekerja keras siang dan malam tanpa mengenal lelah. Berjuang mengutamakan anak-anaknya yang sangat disayanginya.

Seingatku, semenjak aku kecil hingga akhir hayatnya Ibu, sehabis sholat magrib, Ibu selalu rajin membaca ayat-ayat suci Al-Qur’an. Kecuali jika beliau “berhalangan” saja, maka beliau libur tidak membaca ayat-ayat suci Al-Qur’an. Ibu membaca Al-Qur’an mulai dari sehabis sholat magrib hingga masuk waktu sholat Isya. Bahkan, tidak jarang pula sehabis Isya, jika semua pekerjaan sudah selesai, Ibu melanjutkan membaca Al-Qur’an hingga larut malam. Tidak jarang dalam satu bulan saja, Ibu sudah khatam Al-Qur’an dua kali.

Pada tahun 1992, Ibu sakit keras. Ibu terkena kanker rahim dan harus di operasi. Aku benar-benar salut dan kagum sama Ibu, dalam penderitaan sakitnya, beliau masih tetap menyempatkan kebiasaannya membaca ayat-ayat suci Al-Qur’an,. Yang selalu dilakukannya sehabis magrib hingga terdengarnya azan Isya. Ibu tidak menyerah begitu saja dengan sakitnya. Walaupun musti bolak balik di papah oleh aku dan Bapak ke kamar mandi untuk berwudlu, Ibu bersikukuh untuk tetap rajin beribadah. Benar-benar manusai Super yang sudah teramat langka ditemui dizaman edan seperti sekarang ini.

Begitu istiqomahnya Ibuku yang aku dan sebagian masyarakat di kampungku saksikan. Mungkin Karena kesalehan Ibu inilah, Ibu sangat di segani oleh masyarakat di kampungku. Walaupun Ibuku hanya seorang wanita kampung yang lugu dan sederhana, yang hanya mengenyam pendidikan sampai kelas 6 SR dimasa kolonial dulu.

Sebelum waktu ashar menjelang Ibu wafat, aku pergi kewarung sebentar membeli minyak tanah untuk bahan bakar lampu tempel sebagai penerangan di rumah kami. Sudah tiga bulan listrik dirumah kami padam karena sudah 5 bulan kami belum sanggup membayar tagihan listrik. Waktu itu suasana mendung sekali,

“tampaknya akan turun hujan lebat malam ini”. Begitu gumamku dalam hati.

Tiba-tiba entah datangnya darimana, angin yang sangat kencang berhembus menyapu rumah-rumah penduduk. Hingga banyak yang gentengnya kabur beterbangan dan berantakan. Bahkan tidak sedikit rumah-rumah yang jendela kacanya pada pecah lantaran diterjang angin yang sangat kencang tersebut. Aku berteduh di halaman sebuah rumah. Sesaat itu pula, angin yang bertiup sangat kencang tadi langsung berhenti. Ditempat aku berteduh , ada seorang kakek-kakek, namanya pak Kisro. Pak Kisro ini dikenal sebagai penganut aliran kejawen dikampungku. Dia bilang kepadaku waktu itu;
“Man…, Ini kayaknya pertanda tidak lama lagi akan ada Orang Besar yang akan meninggal dunia. Dulu, ketika Bung Karno mau meninggal juga terjadi Angin kencang yang aneh seperti ini” begitu tuturnya.

Tak terbersit sedikitpun kalau yang dimaksud Orang Besar tersebut adalah Ibuku. Setidaknya dalam pandanganku; Ibuku adalah Orang Besar yang sangat aku hormati. Jauh melebihi penghormatanku terhadap para penguasa yang korup dan lalim.

Semenjak ‘asyar tadi Ibu minta tidur dipangkuanku. Setelah terdengar ‘Azan magrib, Ibu minta sholat diimami oleh aku. Sembari berbaring Ibu melaksanakan sholat magrib dan aku sebagai Imamnya. Ibu meng-amini Alfatihah yang aku bacakan, dengan jelas dalam sholatnya. Setelah salam, Ibu minta tidur di pangkuanku lagi.

Ibu meninggal dalam pangkuanku. Ba’da magrib tanggal 3 maret 2003. Sebelum Ibu mengehembuskan nafas yang terakhir, entah dapat inspirasi dari mana, sempat -sempatnya aku menuntun Ibu untuk melafaz kan kalimat Thoyyibah; “Laa illaa haillalloh…”. Lima kali aku membisikan kalimat thoyyibah tersebut di telinga kanan Ibu, lima kali juga Ibu mengikutinya dengan suara yang lirih. Sesaat setelah itu, badan Ibu langsung lunglai dan dingin. Detak jantung dan denyut nadinya berhenti. Kedua tangannya bersilang diatas uluhatinya. Nafasnya sudah tidak ada lagi. Innalilahi wainna ilaihi roji’un. Ibuku sudah meninggal dunia. Sontak saja terdengar tangisan anggota keluargaku yang sangat memilukan. Sekuat tenaga aku membendung tangis ku yang sudah mencekik tenggorokan. “Aku harus kuat….”, begitu gumamku dalam hati. Aku tidak ingin kesedihanku akan memberatkan langkah kepergian Ibu menghadap Illahi robbi.

Masih lekat dalam ingatanku, siang tadi adalah tanggal 1 Muharram. Tahun baru Islam. Malam itu berarti sudah masuk tanggal 2 Muharam. Tahun hijriyahnya aku lupa persisnya. Yang jelas tanggalan masehi waktu itu menunjukkan tahun 2003. Harinya hari senin malam selasa. Setelah sholat isya, aku dengan dibantu para tetangga, mempersiapkan segala sesuatu untuk mengurus jenazah Ibu. Kursi-kursi dan meja semua dikeluarkan. Secara maksimal dan dengan sukarela mereka membantu kami. Aku tidak tau siapa yang mengundang mereka datang ke rumah kami. Tau-tau saja sudah banyak orang-orang dan tetangga-tetangga yang datang membantu.

Entah siapa yang menyiapkan, tau-atu di ruang tengah sudah tersedia kain kafan sepanjang 15 meter.

“Rahman…, biar kami saja yang mengurus kain kafan ini, sebaiknya kamu mandikan saja jenazah Ibu mu”. Bisik beberapa orang Ibu dari Jam’iyah Fatayat NU dan dari Jam’iyah ‘Aisiyah Muhammadiyah kepadaku.

Aku lupa siapa persisnya kedua Ibu itu. Drum-drum air sudah disiapkan berjejer untuk menampung air yang akan digunkanan untuk memandikan jenazah Ibu di halaman samping.

Sesuai dengan ajaran Rosululloh SAW yang aku pelajari selama mengaji, jika memandikan jenazah, maka aku memulai memandikan jenazah Ibu dari anggota tubuh yang biasa dipakai bila berwudlu. Dimulai dari kedua telapak tangan, wajah, mulut, kedua lengan, rambut, kepala dan kedua telinga, dan selanjutnya kedua kaki Ibu, semuanya aku basuh dengan sangat hati-hati. Sebelum aku memandikan jenazah Ibu, terlebih dahulu aku mengurut uluhati dan perut Ibu agar kotoran-kotaran yang masih tersisa dalam perut bisa keluar. Sehingga jazad Ibu dikuburkan sekaligus menghadap Alloh Robbul’izzati benar-benar dalam keadaan suci. Mbak Zaitun, anak pertama Ibu sekaligus kaka perempuanku yang pertama, Ikut membantu memandikan Jenazah Ibu.

Setelah prosesi pen-sucian jenazah ibu selesai dilakukan, aku dengan dibantu Pa’ De’, kakak dari Ibu, dan Paman, Adik paling bungsu Ibu, mengangkat jenazah Ibu untuk di kafankan. Sementara itu diruangan yang lain, dan diberbagai sudut raungan kosong rumah kami, tidak sedikit Ibu-Ibu duduk bergerombol, bersimpuh melingkar mengitari ruangan, melantunkan bacaan Surat Yasin. Sebagaimana lazimnya ada orang yang meninggal dunia. Lantunannya begitu syahdu terdengar mengalun. Mengisi tiap sudut bilik tiap-tiap ruangan di rumah kami. Berbaur dengan suasana haru biru dan terlarut dalam suasana duka cita keluarga yang ditinggalkan Ibu. Terutama aku anak laki-laki Ibu yang paling besar.

Dengan dibantu beberapa ibu-ibu anggota Jam’iyah Fatayat NU dan ‘Aisyiah Muhamamdiyah, aku ikut melakukan proesesi peng-kafanan jenazah Ibu. Proses ini tidak begitu sulit, karena saya dibantu oleh Ibu-Ibu yang sudah piaway dalam hal mengurus jenazah. Tiba-tiba ada seorang wnaita tua, bulik dari Ibu yang datang dengan membawa bedak menghampiri jenazah Ibu yang hampir selesai dikafani.

“Badhe nopo mbah….?” (mau apa mbah..?) Aku bertanya pada wanita itu.
“Ibumu pan ngadep maring Gsuti Alloh. Dipupuri disit. Ben ayu…”. (Ibumu akan menghadap Gusti Alloh, dibedaki dulu. Biar cantik….). Begitu wanita tua itu menjelaskan.

Sebenarnya aku tidak percaya sedikitpun terhadap adat istiadat penduduk kampungku. Apalagi hal itu jelas-jelas menyimpang dari keyakinan ku yang aku percayai. Namun apalah dayaku, disaat suasana hati yang sedang dalam dirundung kedukaan, terkadang orang akan terasa sulit mengungkapkan apa yang ada didalam hati dan benaknya.

Seusainya jenazah Ibu dikafankan, kemudian disemayamkan di ruang tamu. Karena menurut pertimbang kami ruang tersebut relative cukup luas untuk men-solatkan jenazah. Tanpa terasa prosesi pengurusan jenazaha Ibu berlangsung cukup cepat dan rapi. Dari memandikan sampai dengan mengkafankan berlangsung kurang lebih satu setengah jam. Subhanalloh. Waktu itu, jam dinding sudah menunjukkan pukul 19.30. Berangsur-angsur, secara bergiliran orang-orang yang hadir mulai mensholatkan jenazah Ibu. Berdiri ber shaf-shaf, empat kali takbir hingga salam. Kemudian berdoa. Ada yang berdoanya panjang, ada juga yang berdoanya pendek saja. Satu rombongan jama’ah selesai mensholatkan jenazah Ibu, kemudian berganti dengan jama’ah yang lain. Begitu seterusnya. Hingga waktu menunjukkan pukul 23.00, barulah rumah kami mulai sepi. Orang-orang dan tetangga yang tadi ramai berdatangan, satu persatu pulang kerumahnya masing-masing. Suasana rumah kami muali agak lengang, tidak seramai tadi sore. Hanya beberapa kerabat dekat Ibu dan teman-teman baik keluarga kami yang masih berada dirumah kami menemani kami yang sedang berkabung.

Selepas itu, aku dengan ditemani adik laki-laki ku yang paling kecil, duduk bersila disisi jenazah Ibu. Aku buka Al-Qur’an kecil yang aku beli dimasa aku SMA dulu. Kemudian aku buka surat Yasin dan kemudian aku bacakan. Jika sudah selsai surat Yasin aku baca, maka aku mengulanginya lagi. Begitu seterusnya berulang-ulang aku bacakan Surat Yasin disisi jenazah Ibu hingga ‘azan subuh berkumandang. Semenjak saat itu, aku jadi suka dan sering membaca surat Yasin.

Keesokan paginya, Mbakyuku yang kedua, mbak En, anak kedua Ibu, kakakku persis, sudah tiba datang dari Jakarta. Rupanya tadi malam ada sanak kerabat yang interlokal mengabarkan kepada nya kalau Ibu sudah wafat. Jam 6.30 persis mobil yang dinaiki Mbak En masuk ke halaman rumah yang sudah mulai ramai dipenuhi oleh orang-orang yang ingin melayat serta mengiringi acara penguburan jenazah Ibu yang akan dilaksanakan beberapa saat lagi. Banyak sekali orang-orang yang datang melayat jenazah ibu. Bukan hanya penduduk kampungku saja, ada banyak juga dari tetangga kampung sebelah. Tidak tau persis jumlahnya berapa, tapi yang jelas jalanan didepan rumahku ramai penuh sesak dengan warga yang melayat jenazah Ibu. Subhanalloh…, laksana seorang pejabat saja yang meninggal dunia. Sampai-sampai lalulintas jalan didepan rumah sempat dialihkan ke jalur alternative oleh aparat desa karena macet.

Ibuku hanya orang biasa saja. Sebagai mana perempuan kampung pada umumnya. Namun seingat ku, Ibu selalu berbuat baik pada siapa saja. Suka menolong tetangga, bahkan orang yang tidak dikenalnya sekalipun. Pernah suatu ketika ada tetangga yang istrinya melahirkan dan tidak mempunyai biaya untuk ke bidan, Ibuku mengiklaskan uang hasil menjual buah mangga milik nya. Jumlahnya tidak terlalu banyak, Cuma Rp 120.000,- saja. Tapi pada saat itu ekonomi keluarga kami sedang memprihatinkan. Kami jarang makan nasi. Setiap hari kami hanya makan bubur atau nasi jagung. Tapi Ibu dengan tidak perhitungan, diberikannya sejumlah uang itu untuk membantu tetangga yang sedang dalam kesusahan.

“Sudahlah.., diiklaskan saja.., yang penting kita sehat. Mereka sedang sangat membutuhkan uang ini. Insya Alloh ada rizki lain buat kita.” Begitu kata Ibu waktu itu. Kenangku dalam hati.

Kini jenazah Ibu sudah siap untuk dibawa ke pemakaman. Seorang tokoh ulama kampung kami sudah menyampaikan taushiah-taushiah dan nasihat-nasihatnya tentang seputar musibah dan kematian kepada segenap orang yang hadir pada hari itu. Sesaat sebelumnya, aku memimpin kedua kakakku dan kedua adikku menyolatkan jenazah Ibu. Kami adalah jama’ah yang paling akhir, yang men-sholatkan jenazah Ibu.

Dengan diiringi tasbih, tahmid, tahlil dan takbir, keranda mayat yang didalamnya terdapat jenazah Ibu, dengan diusung empat orang pemuda kampung, perlahan-lahan bergerak meninggalkan pelataran rumah kami. Aku berjalan didepan, disebelah kanan keranda yang membawa jenazah Ibu. Orang-orang melarangku untuk ikut mengusung jenazah Ibu. Entah apa alasan mereka, namun yang jelas kepercayaan penduduk di kampung kami; seorang anak dilarang ikut mengusung jenazah orang tuanya yang sudah meninggal.

Sesampainya di pemakaman, disana sudah siap sepetak liang lahat yang akan digunakan untuk menguburkan jazad Ibuku. Semuanya sudah tertata rapi dan sudah siap digunakan untuk acara penguburan jenazah. Setelah keranda dibuka dan jenazah Ibu siap untuk diangkat dan selanjutnya diletakkan ke liang lahat, tanpa dikomando aku langsung turun kedalam liang lahat untuk menerima jenazah Ibu untuk diletakkan menghadap arah kiblat. Kemudian menyusul kakak sepupuku dan kaka iparku turun ke liang lahat. Jenazah Ibu diangkat oleh tiga orang dan dijulurkan kepada kami yang sudah berada di dalam liang lahat. Aku mengangkat bagian tengah jenazah Ibu, aku peluk erat-erat dan dengan sangat hati-hati. Sementara kakak Iparku mengankat bagian kepala, dan kakak sepupuku, anak dari pa De’, mengangkat bagian kaki Ibu. Sesaat setalah jenazah Ibu sudah kami usung bersama-sama, secara bersama-sama pula kami letakkan jenazah Ibu kedalam liang lahat dengan kepala Ibu membujur kearah utara, dan tubuh Ibu dimiringkan dengan muka menghadap kiblat.

Saat-saat yang sangat mendebarkan itu akhirnya datang juga. Dimana saat-saat yang paling penghabisan aku memandang wajah Ibuku. Selanjutnya entah kapan lagi bisa kusaksikan senyum dan wajah yang dimiliki Ibuku. Aku buka seluruh ikatan kain kafan yang mengikat bungkusan jenazah Ibu. Dari ikatan kepala, pinggang dan kaki. Kemudian aku buka wajah Ibu. Ada keanehan waktu aku lihat wajah Ibuku. Tadi pagi ketika mbakyu ku anak Ibu nomor dua membuka wajah Ibu, terlihat jelas banyak bedak diwajah Ibu. Tapi kala itu yang aku saksikan wajah Ibu begitu bersih dan basah, laksana orang yang habis membilas wajahnya dengan air yang segar.

Sesaat aku terpaku menatap wajah Ibu yang sepintas terlihat seperti orang yang sedang tidur. “Ya Alloh…, apakah ini yang disebut dengan perpisahan haqiqi…?. Sebentar lagi aku sudah tidak dapat menemui Ibuku lagi. Wajah Ibuku masih bisa aku tatap dan aku sentuh. Namun beberapa saat lagi semua ini akan berakhir. Entah kapan lagi aku bisa menemui Ibuku…”. Lidah ini terasa kelu. Diam seribu bahasa. Tak dapat mengucapkan sepatah kata pun. Tak ada saupun kalimat yang dapat melukisakan kesedihan hatiku saat itu. Aku hanya mampu berguman dan bertanya-tanya dalam hati saja; “YA Alloh…, kapan lagi aku bisa bertemu dengan Ibuku lagi…..?”.

Tiba-tiba terasa punggungku ada yang menepuk, menyadarka aku dari keterpakuanku. “Rahman.., kamu yang iklas ya..?, Ibumu sekarang sudah saatnya untuk dikuburkan. Jangan dibiarkan berlama-lama. Kasihan Ibumu. Kamu harus Iklas”. Suara pak ustad Mubin, guru agamaku waktu aku SD menyadarkanku. Aku hanya bias mengangguk saja.
Selanjutnya seseorang turun disebelahku. Aku masih diliang lahat waktu Itu. Orang itu lalu mengumandangkan ‘Azan dan Iqomat persis disisi kepala Ibu. Setelah itu papan-papan penutup liang lahat satu persatu mulai diturunkan dan dipasang. Dan tanah-tanah merah yang sedari tadi bergunung-gunung disekitar liang lahat, kini sedikit demi sedikit mulai menimbun jazad Ibu. Aku perhatikan dengan seksama, lama kelamaan jazad Ibu tidak kelihatan. Yang tampak hanyalah gundukan tanah merah dengan sepasang batu nisan bertuliskan nama Ibuku. Kini aku sudah tidak punya Ibu lagi.

==========================================================
Tidak ada tanda-tanda kalau Ibu mau pergi meninggalkan kami semua. Ibu sakit komplikasi yang teramat parah. Liver dan ginjalnya mengalami peradangan. Begitu juga selpaut paru-paru Ibu yang sebelah kanan. Belum lagi ditambah dengan Diabetes yang sudah Ibu derita semejak habis di operasi kandungannya dulu. Dengan sekuat tenaga, semampunya kami semua berikhtiar melakukan berbagai pengobatan untuk Ibu. Kami, terutama aku, tidak putus asa untuk berupaya mencari biaya pengobatan untuk Ibu tercinta. Bahkan tidak sedikit barang-barang rumah kami dan perabot rumah tangga yang kami punyai, kami jual untuk tambahan biaya pengobatan Ibu. Namun Alloh SWT berkehendak lain. Jalan yang terbaik bagi Ibu sudah ditentukan.

Dulu ketika Ibu masih hidup, kehadiran Ibu dirasa bukanlah apa-apa, seakan-akan tidak ada kesan yang istmewa. Cuman kadang aku butuh Ibu jika hanya ada masalah saja. Namun kini, setelah Ibu tiada, selalu hadir perasaan rindu yang teramat sangat kepada Ibu. Seperti perasaan rindunya sang anak kecil yang ditinggal pergi Ibunya kepasar tanpa pamit terlebih dahulu. Anak kecil itu akan menangis meraung-raung mencari Ibunya kesana kemari. Seperti itulah gambaran rasa rinduku pada Ibu yang aku rasakan hingga detik ini. Kian hari kian berat saja kurasa. Hanya mimpi bertemu dengan Ibu lah satu-satunya pengobat rindu ini.

Hingga detik ini, sosok Ibu dalam diriku tidak pernah tergantikn dengan apapun. Bahkan dalam keseharianku, aku masih merasakan kalau Ibuku masih hidup. Tidak jarang jika aku jalan-jalan ke Mall dan pusat-pusat perbelanjaan, aku sering membelikan kain untuk Ibuku. Lucunya, setelah kain itu aku bayar dikasir, aku baru ingat kalau Ibu sudah tiada.

Ya Alloh.., jika Engkau perkenankan Ibuku hidup kembali, walau hanya sesaat. Aku ingin bersujud di kedua kaki Ibuku. Memohon ampun atas dosa-dosa dan kesalahan-kesalahanku yang sering aku lakukan dimasa hidupnya. Biarlah semua penderitaan dan kepedihan hidup yang pernah aku alami Engkau timpakan kembali kepadaku. Asalakan dapat kudengar langsung dari mulut Ibuku, menerima dengan iklas semua maaf atas kesalahan-kesalahanku.